Apa yang terjadi jika penulis falsafah bukanlah
seorang raja, bangsawan, ilmuwan, negarawan, pengusaha sukses, pujangga
atau katakanlah public figure? Misalnya saja tukang becak, sopir angkot,
mbok-mbok pedagang sayur, atau loper koran.
Masihkah apa yang dikatakan dianggap sebagai sebuah filosofi
kebijaksanaan bagi strata yang (menurut perasaan) lebih tinggi dari
mereka?
Atau mungkin jika penceramah adalah seorang pemuda gondrong berjaket
kulit, bercelana jean buluk, dengan kaos hitam bertuliskan Slipknot.
Jika dibanding seorang setengah baya yang berbaju rapih dan tampak
sopan. Apakah lebih bermutu yang setengah baya itu dibanding si
gondrong?
Bahwa manusia punya sudut pandang tersendiri dalam menilai itu semua.
Dan faktor persepsi tentang generalisasi tak bisa dihindarkan lagi.
Dan kitalah yang membuat pola tersendiri dalam pikiran kita… dalam
perasaan kita swehingga membentuk suatu nilai terhadap obyek tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar